Rabu, 03 Desember 2025

SAMUDRA MALAM DI KOTA JALMURA

 

“SAMUDRA MALAM DI KOTA JALMURA”


Kota Jalmura—bagian pesisir dari Gaza dalam dunia alternatif ini—berdiri seperti bayangan raksasa di bawah cahaya bulan. Laut memantulkan warna perak pucat, sementara bangunan-bangunan tinggi yang sudah retak berdiri seperti saksi yang tak mau tumbang.

Di atap salah satu gedung tua, lima pasukan bergerak cepat namun diam. Mereka adalah Tim Garuda Parang, unit mobil cepat dari Pasukan Elit Garuda TNI yang ditugaskan mengamankan jalur laut untuk misi kemanusiaan internasional.

Letnan Kolonel Rama Satria, seorang pemimpin yang terkenal tenang meski dalam badai peluru, memandang ke laut sambil memegang teropong malam. “Kapal medis internasional akan masuk lewat dermaga Jalmura dalam 20 menit. Tugas kita memastikan mereka aman.”

Sersan Seno, ahli sensor jarak jauh, memasang pemindai inframerah pada pagar atap. “Komandan, saya menangkap dua grup bersenjata bergerak ke arah dermaga. Bukan warga sipil.”

Rama menarik napas. “Kita bergerak ke sana. Minimalisasi kontak, fokus pada perlindungan kapal.”

Namun Yani, prajurit termuda dalam tim itu, mencatat sesuatu yang lebih mengkhawatirkan.

“Ada satu sinyal lagi,” katanya. “Unit profesional. Tak cocok dengan pola kelompok lokal.”

Rama menatap layar hologram kecil. Sinyal itu bergerak cepat. Terlatih. Tepat.

“IDF…” gumamnya.

Di dunia alternatif ini, unit IDF patuh pada misi mereka sendiri—dan tak selalu sejalan dengan jalur evakuasi internasional. Jika mereka dan Garuda Parang bertemu, bisa terjadi salah paham… atau sesuatu yang jauh lebih buruk.

“Semua siap,” kata Rama. “Kita tidak cari ribut, tapi kita tidak akan mundur dari misi.”


Di sisi lain Kota Jalmura, Unit Harimau Lautpasukan IDF dalam dunia alternatif ini—bergerak di sepanjang rooftop. Dipimpin Mayor Liron Gavish, unit itu mendapat perintah mengejar kelompok penyelundup senjata yang diyakini berada di dermaga.

Liron melihat dua bayangan melintas cepat dari kejauhan. “Gerakan dari tim asing,” lapornya.

Letnan Orin mengamati dengan kamera termal. “Bukan musuh kita… tapi bersenjata lengkap. Bisa jadi pasukan koalisi.”

Liron mengangguk. “Tetap waspada. Prioritas kita tetap kelompok penyelundup.”

Namun ia tahu: jalur mereka dan jalur pasukan asing itu akan bersinggungan.
Dan hal seperti itu jarang berjalan mulus.


Tim Garuda Parang tiba lebih dulu di sekitar dermaga. Kapal medis internasional terlihat di cakrawala, lambungnya memantulkan cahaya bulan seperti harapan yang bergerak perlahan.

“Komandan, kita punya waktu lima belas menit,” kata Seno.

Tapi dentuman kecil dari arah utara membuat mereka menoleh.

BAM. BAM. BAM.

Tembakan jarak jauh—terkontrol dan profesional.

“Kita kedatangan tamu,” gumam Yani.

Dari balik bayangan gudang, muncul bayangan gelap. Mayor Liron maju, lampu taktisnya menyorot.

“Identify yourselves!” teriaknya.

Rama mengangkat tangan sedikit, tanpa melepaskan senjata. “Pasukan Garuda Parang. Misi kemanusiaan. Kami mengawal kapal medis internasional.”

Liron menyipitkan mata. “Dermaga ini zona operasi kami.”

“Orang-orang di kapal itu punya pasien yang harus dijemput di kota ini,” jawab Rama. “Pasien yang mungkin mati kalau mereka tak mendarat.”

Keheningan panjang menggantung seperti kabut.

Dan seolah dunia ingin mempercepat keputusan itu—
RAAAAK!

Ledakan besar dari timur menerangi malam. Gelombang panas menyapu dermaga.

Kelompok bersenjata lokal mulai menyerang dari tiga arah.

“Kontak musuh!” teriak Orin.

Rama merapatkan genggaman pada senjatanya. “Libatkan atau tidak, mereka menyerang semua orang.”

Rama dan Liron saling menatap sepersekian detik. Dalam tatapan itu, mereka sepakat pada satu hal:

Misi kemanusiaan tidak boleh gagal.


Pertempuran pun pecah.
Peluru memantul dari kontainer-kontainer kargo.
Sinar tracer melesat menembus gelap.
Gelombang laut memantulkan setiap ledakan seperti petir yang memukul air.

Garuda Parang membentuk garis depan, sementara Harimau Laut menutup sisi kiri. Formasi spontan, namun bekerja seolah dua pasukan itu telah berlatih bersama selama bertahun-tahun.

Seno memindai arah datangnya musuh. “Komandan, mereka punya RPG!”

Rama memberi isyarat. “Lestari! Fokus eliminasi RPG!”

Dari posisi tinggi, Lestari membidik dan menembak tepat di bahu penembak RPG, menjatuhkannya tanpa membunuh.

Sementara itu, pasukan IDF menghalau musuh di sisi barat dengan gerakan cepat nan presisi.

Namun jumlah musuh terus bertambah.

“Komandan!” Yani berteriak. “Kapal medis hampir mencapai dermaga! Kita harus buka jalur!”

Rama berbicara pada Liron, suaranya keras tapi jelas. “Kami buka jalur depan, kalian tutup sisi kanan!”

Liron mengangguk cepat. “Go! Kami cover!”

Kedua pasukan kembali bergerak — bukan sebagai lawan, tapi sebagai dua unit yang terpaksa bersatu demi sesuatu yang lebih besar dari mereka.


Ketika kapal mendekat, serangan musuh semakin intens. Mereka mencoba merebut dermaga sebelum kapal bersandar.

“Tidak ada yang boleh mendekat ke kapal itu!” teriak Rama.

Seno mengaktifkan suar asap biru, memberi sinyal aman untuk kapal. Cahaya birunya menari di udara seperti nyala kecil harapan.

Garuda Parang membentuk tameng manusia di sepanjang jalur masuk kapal.

Harimau Laut menahan musuh dari arah lain, bahkan memblokir jalan dengan kontainer yang didorong menggunakan latch portable.

Gelombang peluru seperti badai logam mengisi udara.

Namun, perlahan-lahan… kapal itu berhasil merapat.

Pintu samping terbuka. Tim medis internasional turun dengan tandu-tandu dan peralatan darurat.

“Kami siap menjemput pasien!” teriak salah satu dari mereka.

Rama tersenyum singkat, meskipun peluh menetes dari dahinya. “Ayo cepat sebelum gelombang kedua serangan datang!”


Setelah pasien-pasien naik ke kapal dan kapal bersiap kembali ke laut terbuka, tembakan musuh mulai berkurang. Barisan mereka pecah, tidak mampu menahan dua pasukan elit yang bekerja sama.

Akhirnya, dermaga Jalmura kembali sunyi—selain suara napas berat para prajurit.

Rama menatap Liron. “Terima kasih. Kalau kalian tak datang, kapal itu tak akan pernah mendarat.”

Liron tertawa kecil, lelah namun sungguh. “Kalau bukan karena kalian, kami juga sudah kewalahan.”

Keduanya saling mengangguk.

Tidak ada salam resmi.
Tidak ada deklarasi persahabatan.
Hanya rasa hormat yang lahir dari bahaya bersama.

Kapal medis itu meninggalkan dermaga, membawa para pasien menuju arah aman.

Ketika angin laut kembali tenang, Rama berkata pelan,

“Kadang dunia memaksa dua pihak yang berbeda berdiri di sisi yang sama. Dan pada malam seperti ini… itu cukup untuk menyelamatkan nyawa.”

Dengan langkah perlahan, Garuda Parang dan Harimau Laut berpisah jalan, kembali ke bayang-bayang misi masing-masing.

Sementara laut kembali memantulkan cahaya bulan—tenang, seolah tak pernah ada perang yang menggemuruh di bawahnya.